Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa waktu tidur yang tidak dianjurkan ada pada tiga waktu, yakni tidur setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari, tidur setelah masuknya waktu ashar, dan tidur sebelum melaksanakan shalat isya’.
Sedangkan waktu tidur yang dianjurkan oleh syara’ adalah tidur di waktu qailulah. Dalam hadits dijelaskan: “Tidurlah qailulah (siang hari) kalian, sesungguhnya Syetan tidak tidur di waktu qailulah (HR ath-Thabrani).
Waktu qailulah ini ada yang menafsirkan tidur sebelum waktu dhuhur (tergelincirnya matahari), ada pula yang menafsirkan setelah masuk waktu dhuhur. Yang pasti, fungsi utama tidur qailulah ini adalah sebagai persiapan agar dapat melaksanakan qiyam al-lail dengan shalat dan berdzikir di malam hari.
Seperti yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali:
“Tidur qailulah adalah sunnah yang dapat membantu seseorang untuk melaksanakan qiyam al-lail, seperti halnya sahur hukumnya sunnah yang berfungsi untuk membantu seseorang dalam melaksanakan puasa di siang hari,” (Al-Ghazali, Ihya’ ulum ad-Din, juz 1, halaman 338).
Selain itu, syara’ menganjurkan agar seseorang menjadikan waktu malam sebagai waktu untuk tidur dan istirahat, sedangkan waktu siang untuk bekerja dan beraktivitas. Sebab pola demikianlah yang dipandang ideal dan sesuai dengan ajaran Islam.
Hal ini seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian (waktu tidur), dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan,” (QS An-Naba’, ayat: 10-11).
Ketentuan demikian merupakan tuntunan yang diajarkan oleh syara’ bagi orang yang memungkinkan untuk melaksanakannya. Berbeda halnya bagi orang yang memiliki tuntutan pekerjaan atau profesi yang beraktivitas semalam suntuk, maka dalam kondisi demikian waktu siang dapat ia gunakan sebagai waktu istirahat panjang dengan tetap berupaya untuk tidak tidur di waktu-waktu yang dimakruhkan.