“Kalau resikonya tinggi, jangan dipaksakan, karena ini uang masyarakat. Jadi pilih lah usaha meski kecil namun pasti,” tuturnya.
Sementara mengenai regulasi, ungkap dia, semuanya itu diatur oleh Keuchik dan Tuha Peut dengan mempertimbangkan resiko dan peluang yang ada.
“Saya membangun kolam 3 buah, keuntungan 25 persen, 75 persen untuk dikembalikan ke usaha kolam. Jadi, jangan berharap belas kasihan orang, jika untung ya untung,” katanya.
Apalagi lanjut Bupati, pengelolaan usaha kolam udang vename itu membutuhkan modal yang sangat besar.
“Modal untuk kolam kurang lebih Rp 150 juta, operasional 150 juta. Jadi, satu kolam bisa menghabiskan Rp 300 jt,” bebernya.
“Maka, coba kolaborasi BUMG skala kecamatan, bikin komitmen dan perjanjian, jadi semua ada solusi dan ukur juga kemampuannya,” tambah Akmal.
Hal yang menarik, sambung dia, apabila pengelolaan kolam udang vename tersebut dapat dilakukan secara syariah dengan sistem bagi hasil dengan pemilik tanah.
“Duduk, camat jadi fasilitator untuk memediasi apa yang cocok bagi peluang usaha untuk BUMG,” ucap Akmal.
Disamping budidaya tanaman porang dan udang vename, Bupati Abdya dua periode tersebut juga meminta desa dapat memproduksi pupuk organik secara mandiri demi meningkatkan produktivitas hasil pertanian di desa.
Soal pupuk, sambungnya lagi, paling mudah diracik. Ia menyebutkan, siap untuk mengajarkan desa dalam meracik pupuk organik. Pupuk itu adalah buatan dirinya sendiri.
Bupati mengaku pupuk organik hasil olahannya itu memiliki banyak manfaat dan kelebihan. Selain merangsang pertumbuhan tanaman, pupuk tersebut juga dapat menghilangkan rasa bau pada kotoran.