Jika terbukti ada intervensi dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Pengguna Anggaran (PA) untuk mengatur proyek, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.
Muzakir menjelaskan, persekongkolan dalam pengadaan biasanya terbagi dalam tiga bentuk: horizontal, vertikal, dan kombinasi keduanya. Ketiganya sama-sama merugikan dan merusak ekosistem bisnis yang sehat.
Persekongkolan horizontal melibatkan sesama peserta tender yang sepakat menentukan pemenang sejak awal. Dalam praktiknya, peserta yang dikalahkan biasanya mendapat bagian pekerjaan sebagai subkontraktor atau dijanjikan proyek di kesempatan berikutnya.
Sementara persekongkolan vertikal terjadi antara peserta tender dan panitia lelang. Dalam skema ini, panitia memberi kemudahan kepada peserta tertentu untuk memenangkan tender, meski prosedur formal tetap dijalankan.
Adapun kombinasi horizontal dan vertikal terjadi saat seluruh pihak—panitia, peserta, dan pengguna jasa—ikut serta dalam pengaturan pemenang. Proses tender dijalankan sebagai formalitas administratif semata.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, praktik persekongkolan ini disebut sebagai “Konspirasi Usaha”, yakni kerja sama antar pelaku usaha untuk menguasai pasar demi kepentingan kelompok tertentu.
Atas kondisi tersebut, Muzakir menyerukan agar aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan segera turun tangan. Ia meminta praktik kotor dalam pengadaan barang dan jasa di Aceh segera diberantas.
“KPK dan Kejaksaan harus bergerak. Praktik seperti ini sudah sangat meresahkan dan merusak iklim usaha,” tegasnya. (*)
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp
Tinggalkan Balasan