Ia menambahkan, zakat dan infak di Aceh sudah menjadi pendapatan asli daerah (PAD), tentunya dalam pengelolaannya harus mengedepankan prinsip aman regulasi supaya tidak terjadi persoalan di mata hukum.

“Selain aman syar’i, karena sudah jadi PAD, maka harus juga aman regulasi sehingga zakat yang dikelola benar-benar tertib secara administrasi dan tersalurkan dengan efektif kepada mustahik,” jelasnya.

Lebih lanjut kata Zulbaili, BMK dapat mengusung program apa saja asalkan pendapatan zakat dan infak yang diterima dari masyarakat jumlahnya besar. Untuk mencapai target penerimaan zakat tersebut, pihaknya merasa perlu untuk berkunjung ke Baitul Mal Aceh Besar dengan tujuan membahas bagaimana strategi pengumpulan zakat yang lebih efektif yang dipungut dari pengusaha, ASN instansi pemerintah vertikal, BUMN/BUMS, dan lain-lainnya.

“Kita akan mendiskusikan banyak hal terkait optimalisasi pengelolaan zakat di BMK mulai dari strategi pengumpulan, pendayagunaan hingga mendistribusikannya kepada mustahik,” katanya.

Dalam kunker ke Aceh Besar, kedua BMK saling bertukar informasi program pengelolaan Ziswaf diantaranya pendayagunaan Ziswaf produktif dalam bentuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan berkerjasama antara lembaga keuangan syariah.

Seperti di Aceh Besar, mereka mengucurkan dana hibah dari Baitul Mal ke lembaga keuangan syariah Baitul Myskat. Lembaga ini kemudian menyalurkan kepada masyarakat pedagang dari keluarga kurang mampu dalam bentuk pembiayaan qardhul Hasan.

“Alhamdulillah sudah berjalan Baitul Myskat menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat. Jadi masyarakat yang meminjam ke Baitul Myskat tidak diambil bunga dan dibayarkan sesuai jumlah pokok uang pinjaman yang diambil oleh mereka,” ucap ketua BMK Aceh Besar, Azwir Anwar.