Prof Mukri menegaskan bahwa rukyat tidak hanya menggunakan pandangan mata, tetapi juga menggunakan alat-alat canggih yang menghasilkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Rukyatnya juga tidak menggunakan pandangan mata saja. Namun pakai alat-alat yang canggih hasil perkembangan ilmu dan teknologi saat ini. Tentunya akan lebih bisa dipertanggungjawabkan hasilnya,” ungkapnya.

Selain itu, katanya, pemerintah juga melakukan sidang isbat yang melibatkan pakar-pakar falakiyah dan astronomi serta perwakilan dari berbagai ormas Islam.

Namun, para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Hal ini sebagai bentuk konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.

Prof Mukri juga mengisahkan sebuah kejadian ketika pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari menegur ahli falak, KH Maksum Ali, karena mengumumkan sendiri hasil hisab dan rukyat yang dilakukannya sendiri tanpa diserahkan kepada pemerintah yang berwenang untuk mengumumkan.

Hal ini kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak isbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.

Menurut Prof Mukri, ini merupakan contoh nyata bagaimana para ulama NU mempraktikkan ajaran dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. (Lampung.nu)

Editor : Salman