Oleh : Sariril Karamah

DALAM beberapa waktu terakhir media sosial kerap kali dihebohkan masalah penyebaran video asusila. Baik video asusila yang menimpa masyarakat biasa hingga video yang diduga melibatkan selebritas terkenal.

Kasus ini pun menyebar dengan cepat dan menjadi perbincangan. Beberapa kasus di antaranya bahkan adalah Tindakan revenge porn.

Revenge porn adalah suatu aksi balas dendam yang dilakukan oknum tertentu dengan menyebarkan foto atau rekaman seksual eksplisit dari seseorang tanpa sepengetahuan.

Revenge porn dikenal sebagai pornografi non-konsensual, yang mana adalah subtipe dari pelecehan siber dan merupakan masalah serius yang dihadapi masyarakat di era teknologi modern.

Korban revenge porn harus mengatasi konsekuensi pribadi dan psikologis jangka panjang, mengingat foto atau video yang disebarluaskan dapat terus menghantui mereka sepanjang hidup.

Menurut sebuah penelitian, 49% korban melaporkan bahwa mereka mengalami cyberharrassment dan cyberstalking oleh pengguna online yang melihat foto-foto mereka yang diunggah.

Revenge porn (balas dendam porno) salah satu wujud kekerasan intim yang biasa berbentuk pemaksaan ataupun ancaman terhadap seorang guna menyebarkan rekaman berwujud konten asusila melalui dunia maya. Rekaman tersebut antara lain suara, gambar, apalagi video dikala lagi berhubungan seksual.

Sepanjang ini, korban revenge porn umumnya merupakan wanita. Tetapi, tidak menutup mungkin kalau korban dapat berasal dari pria. Perekaman dikala lagi berhubungan seksual ini bisa dicoba dengan ataupun tanpa pengetahuan ataupun persetujuan kedua belah pihak.

Umumnya, tujuan dari penyebaran konten asusila tersebut merupakan buat mempermalukan, mengucilkan, apalagi menghancurkan kehidupan korban.

Revenge porn sekarang juga digunakan untuk kasus-kasus lain Banyak pelaku yang bertindak atas dasar keinginan untuk mendapatkan uang, ketenaran, atau hiburan, termasuk peretas, penyebar rekaman kamera yang tersembunyi atau ‘terselubung’, dan orang-orang yang mendistribusikan foto-foto ponsel curian.

Selain itu, pornografi non-konsensual dapat disalahpahami sebagai merujuk pada genre pornografi tertentu yang menampilkan kurangnya persetujuan, dan bahkan pelecehan. Selain itu, istilah ‘porn‘ berisiko mengerotiskan bahaya dari bentuk pelecehan seksual ini. Istilah ini juga mendorong sensasionalisme di media ketika melaporkan kasus-kasus ini.

Namun, menurut penulis Istilah revenge porn problematik karena mengindikasikan bahwa kekerasan terjadi karena korban berbuat salah terlebih dahulu, sehingga pelaku berhak melakukan balas dendam.

kasus revenge porn, korban dapat mengalami kekerasan fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik bisa berupa verbal bertujuan mengancam korban hingga mendominasi agar korban terpaksa menuruti keinginan pelaku.

Sedangkan, kekerasan non fisik dapat berupa kerugian yang kemudian mempengaruhi semua aspek kehidupan, antara lain psikologis, tekanan mental, emosional, kerugian ekonomi, keterasingan sosial. Kehilangan kepercayaan diri hingga mengisolasi diri.

Salah satu yang paling banyak adalah ancaman penyebaran foto dan video pribadi, bentuknya domestic violance yang pelakunya orang terdekat, seperti suami, mantan suami, pacar, atau mantan pacar,

Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan peraturan untuk kejahatan revenge porn dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kita mengenalnya sebagai UU ITE yang di dalamnya melarang distribusi dokumen elektronik yang bersifat melanggar kesusilaan (Pasal 27 Ayat 1 UU ITE).

Dalam UU ITE Pasal 27 ayat 1, pelaku revenge porn yang terbukti bersalah akan mendapatkan hukuman penjara hingga 6 bulan kurungan dan atau membayar denda 1 miliar rupiah. Jika pelaku terbukti melanggar UU ITE Pasal 30, akan dikenai hukuman penjara selama 6 hingga 8 bulan kurungan dan/atau membayar denda 600 hingga 800 juta rupiah.

Walaupun hal ini telah di atur dalam undang- undang tetapi tidak mengurangi atau bahkan tidak terjadi kasus revenge porn ini, dan hal ini tidak dapat memberikan efek jera dan sebagai peringatan bagi masyarakat yang lainnya, bahkan kasus revenger porn bertambah setiap tahunnya. Walaupun terkadang video asusila tersebuta tidak viral.

Untuk menghindari dan mengurangi kasus revenge porn, diharapkan masyarakat untuk berhati-hati dalam pergaulan dan lebih memahami serta mengimplementasikan konsep privasi serta consent.

Masyarakat juga perlu meningkatan pemahaman teknologi, internet, media sosial sebagai media yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah serta melaporkan kekerasan perempuan apabila hal yang tidak diinginkan terjadi, dalam kasus revenge porn.

Seharusnya setiap pasangan baik suami istri atau pasangan kekasih tidak mengabadikan moment hubungan ekplisit yang pribadi, sehingga tidak ada alat ulat untuk balas dendang dikemudian hari.***

Penulis adalah Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Tulisan ini adalah opini penulis.

Editor: Salman