BLANGPIDIE – Forum Imuem Mukim (FIM) Kabupaten Aceh Barat Daya(Abdya), meminta kejelasan tentang sebenarnya posisi Imuem Mukim dalam tatanan wilayah Provinsi Aceh yang merupakan daerah Otonomi Khusus (Otsus).

Hal tersebut diutarakan Ketua FIM Abdya, Tgk. M. Yasin Yusuf, disaat audiensi dan silaturrahmi dengan Paduka Yang Mulia (PYM) Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haytar di Meuligoe Wali Nanggroe Gampong Lampeuneurut Darul Imarah Aceh Besar, Senin (13/3/2023).

“Sebelumnya, terimakasih kami ucapkan kepada Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud yang telah berkenan menerima kedatangan kami dari Abdya. Selain silaturrahmi, kami disini juga ingin berdiskusi dengan Yang Mulia terkait keberadaan kami di dalam struktural pemerintahan Aceh. Sebenarnya posisi kami sebagai Imuem Mukim itu dimana,” ucap Tgk. Yasin Yusuf.

Yang kami pahami, lanjutnya, Imuem Mukim tersebut merupakan struktural pemerintahan di tingkat Kemukiman, namun kenyataannya Imuem Mukim tidak punya peranan seperti yang tertera pada regulasi yang ada, baik di dalam Qanun maupun Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).

“Dalam pasal 1 angka 19, disebutkan bahwa Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batasan wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah Camat,” terang Tgk. M. Yasin.

Dipaparkannya lagi, Lembaga Mukim lembaga resmi Pemerintah yang berada di bawah Camat dipimpin oleh seorang Imuem Mukim. Imuem Mukim memiliki fungsi dan kewenangan berdasarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim. Lembaga Mukim punya peran dalam pembangunan Pemerintahan Mukim dan Gampong. Namun berbanding terbalik, dimana masih banyak pelaku pemerintahan di setiap tingkat dan masyarakat Aceh yang tidak paham terhadap pentingnya akan tugas dan kewenangan Imum Muekim.

“Itu mohon diluruskan Paduka Yang Mulia, posisi Imuem Mukim itu sebenarnya dimana. Hanya sebagai lembaga adat atau pemerintahan adat,” imbuh Ketua FIM Abdya, Tgk. M. Yasin Yusuf.

Menjawab pertanyaan tersebut diatas, PYM Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haytar melalui Stafsus Bidang Diplomasi Dr. Rafiq menjelaskan, jika keberadaan Imuem Mukim adalah sebagai Pemerintahan Adat.

“Kalau merujuk pada regulasi yang ada, Mukim adalah lembaga adat dan juga merupakan Pemerintahan adat,” ucap Dr. Rafiq.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Bab XII dan XIII diatur tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Pasal 98 Undang-undang ini menyebutkan lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota di Bidang Keamanan, Ketentraman, Kerukunan dan Ketertiban Masyarakat.

“Pada ayat berikutnya dalam pasal ini, menyebutkan tentang penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat, ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga Adat seperti yang disebutkan di atas, meliputi Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim atau nama lain, Imeum Chik atau nama lain, Keuchik atau nama lain, Tuha Peut atau nama lain, Tuha Lapan atau nama lain, Imeum Meunasah atau nama lain, Keujruen Blang atau nama lain, Panglima Laot atau nama lain, Pawang Glee atau nama lain, Peutua Seuneubok atau nama lain, Haria Peukan atau nama lain dan Syahbanda atau nama lain,” papar Dr. Rafiq.

Dalam pasal 99 Undang-undang Pemerintahan Aceh ini, disebutkan bahwa pembinaan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai Syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Selanjutnya disebutkan, bahwa penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.

“Untuk lebih lanjut, hal diatas diatur dengan qanun tersendiri. Kebutuhan manusia akan keteraturan melahirkan adagium “Ibi Ius Ibi Sociales”, artinya dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Adagium ini juga menunjukkan bahwa setiap masyarakat mempunyai hukum tersendiri yang dapat saja berbeda dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan filosofi yang dianut oleh masyarakat tertentu. The Existence of Customary Law in Special Autonom,” terang Rafiq lagi.

Dalam kedudukannnya, baik sebagai lembaga Pemerintahan, Lembaga Adat dan Kesatuan Masarakat Hukum Adat, maka pada lembaga mukim melekat berbagai hak dan kewenangan. Hak-hak dan Kewenangn yang melekat pada lembaga Mukim berupa hak dan kewenangan yang diberikan oleh peraturan-perundangan maupun hak-hak tradisional yaitu berupa hak dan Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Mukim dan ketentuan adat serta adat istiadat.
Pakar hukum adat asal Aceh.

“Kewenangan dan hak-hak persekutuan masyarakat hukum itu adalah: (1) menjalankan sistem pemerintahan sendiri; (2) menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya; (3) bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Ke luar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum; (4) hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya; (5) hak membentuk adat; (6) hak menyelenggarakan sejenis peradilan (Hakim adat),” ungkapnya.

Dalam kedudukannya sebagai lembaga adat, pada lembaga mukim melekat hak atas wilayah dan hak untuk menguasai, mengatur, mengurus dan memanfaatkan sumber daya alam sebagai harta kekayaan mukim, untuk kesejahteraan warganya. Pasal 1 angka 9 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, menegaska, Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.

Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Mukim, yang pembentukannya berdasarkan perintah Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, juga mengatur tentang hak dan kewenangan Mukim atas wilayah dan Sumber Daya Alam. Dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf e menegaskan mukim memiliki Kewenangan pengawasan fungsi ekologi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) di kemukiman.

Kemudian Pasal 28 ayat (1) Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Mukim, menyebutkan bahwa Harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan, Jenis jumlah kekayaan Mukim harus diinventarisaikan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah Mukim.

“Untuk melaksanakan hak dan kewenangan atas wilayah dan Sumber Daya Alam, Lembaga Mukim memiliki aturan-aturan adat dan lembaga adat sesuai dengan fungsi dan kewengan masing-masing. Aturan pengelolaan kawasan meliputi adat tentang kehidupan bermasyarakat di kampung (kawasan hunian), adat bersawah, adat berkebun/ berladang, adat memelihara ternak, adat laut, adat sungai dan adat memungut hasil hutan. Di dalamnya aturan-aturan adat tersebut telah diatur juga tentang larangan dan sanksi,” begitu terangnya.

Tatacara pengambilan keputusan meliputi aspek perizinan, penyelesaian sengketa, pengenaan sanksi adat dan pengembangan aturan (adat). Selain itu, terdapat pula tata nilai dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Tata nilai tersebut antara lain berkaitan dengan pelestarian sumber daya, saling membantu, kemurahan hati/saling memberi, menggunakan cara-cara yang tidak merusak dan mengedepankan kearifan.

Tiap ruang kelola, secara tradisional diurus/dikelola oleh masing-masing lembaga, yaitu: Keuchik Gampong bersama Imuem Meunasah, Keujruen Blang, Peutua Seuneubok/Peutua Ladang/ Panglima Laot/ Keuchik Laot, Peutua Krueng dan Panglima Uteun.

“Lembaga Mukim merupakan lembaga adat tertinggi dan lembaga pemersatu dalam sebuah kesatuan masyarakat adat di Aceh. Lembaga Mukim juga merupakan koordinator dari gampong-gampong dalam hal pemanfaatan sumber daya alam, terutama sumber daya alam milik bersama (komunal), baik berupa tanah/ hutan ulayat, sungai, rawa/ paya, maupun padang gembala.

Mengingat penting dan strategisnya kedudukan mukim sebagaimana diuraikan di atas, maka ke depan sangat diperlukan upaya-upaya untuk menggerakkan penguatan adat dan penataan kembali kawasan adat berbasis mukim,” imbuh Dr. Rafiq saat audiensi Forum Imuem Mukim Abdya dengan PYM Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haytar di Meuligoe Wali Nanggroe Gampong Lampeuneurut Darul Imarah Aceh Besar. (*)