Secara historis, manusia diuji dengan penyembahan qurban. Untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt untuk menentukan siapa yang berhak menikahi Iqlima, Qabil dan Habil diperintahkan untuk berqurban.
Prof Fauzi menegaskan, ketakwaan itu kemudian menjadi indikator diterima qurban dan itu dimiliki Habil. Nabi Ibrahim diuji dengan qurban dengan menyembelih anaknya. Dengan ketaqwaan pula, Ismail digantikan dengan kibasy sebagai mazbuh (yang disembelih).
“Pada intinya, qurban sebagaimana dasar maknanya adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui penguatan ketakwaan kepada-Nya. Semoga kita semua dapat menyemarakkan kegiatan Idul Adha dengan dua kegiatan yang disebutkan dalam surah Al-Kautsar itu,” urainya.
Pada bagian lain, Prof. Fauzi Saleh menguraikan, mensyukuri nikmat yang tak terbatas jumlahnya adalah satu hal yang esensial dari kehidupan individu, pertama, ni’mat ijad dan kedua, ni’mat imdad.
Nikmat pertama dimakna manusia ini dihadirkan sebelumnya tidak ada. Tidak sewajarnya mengkufuri Pencipta yang telah mengadakan ke alam dunia ini, lalu dihidupkan, dimatikan dan dikembalikan kepada-Nya.
Kedua, nikmat dimana manusia yang hidup ini dicukupkan segala fasilitas kehidupan. Dunia dan segala isinya semata diperuntukkan bagi manusia agar proses ta’abbud dan taqarubnya tidak terkendala.
Manusia berfungsi sebagai abid (menjalani proses ibadah) itu disiapkan segala apapun yang dibutuhkan; nisa’ (kaum hawa sebagai pasangan), banin (anak-anak) dan qanathir (harta melimpah). Itu akumulasi nikmat yang banyak seharusnya selaras dengan pengakuan dan pemanfaatan sesuai kehendak Pemberi.