Jadi, jika mengkaji persyaratan menjadi Waliyulahdi maupun ketentuan yang mengatur Pilkada di Aceh, tidak terdapat larangan bagi pasangan calon dalam Pilkada yang terlibat dalam struktur Kelembagaan Wali Nanggroe Aceh. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku bagi aparatur sipil negara (ASN) yang berada di lingkungan lembaga Wali Nanggroe Aceh, tegas Shaleh.

Terkait posisi Mualem sebagai Anggota Komisi Pengawas BPMA. Shaleh meminta Syakya untuk mempelajari Peraturan Pemerintah (PP) No: 23 Tahun 2015, tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak Dan Gas Bumi di Aceh.

Di sana disebutkan, anggota Komisi Pengawas BPMA itu berasal dari tiga sumber. Pertama, wakil pemerintah pusat. Kedua, wakil pemerintah Aceh dan ketiga wakil masyarakat. Kedua posisi terakhir itu diusulkan Gubernur Aceh kepada Menteri dan ketiganya bertanggungjawab kepada Menteri.

Nah, Mualem itu diusulkan oleh Gubernur Aceh mewakili tokoh masyarakat Aceh. Dan sesuai Pasal 20 ayat 2, Komisi Pengawas BPMA ini diangkat dan diberhentikan oleh Menteri EDSM setelah mendapat persetujuan Gubernur Aceh, rinci Shaleh.

Pada Pasal 30 ayat 2 ditegaskan, Komisi Pengawas memegang jabatan selama tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.

Jadi sangat jelas dan terang menderang, tidak ada satu pasal pun dalam PP tadi yang melarang anggota Komisi Pengawas BPMA, tak boleh maju sebagai paslon dalam Pilkada, kata Shaleh kembali menegaskan.

Shaleh berharap, walau setiap orang bebas berpendapat di ruang politik, apalagi memiliki pretensi politik pada kontestasi demokrasi bertajuk Pilkada, khususnya Pilgub Aceh. Namun, berbagai pendapat tadi hendaknya disampaikan dan tetap didasari pada narasi, diksi maupun argumentasi berbasis data, prosedur serta aturan yang ada.