31. Aneuék sisawi/kusawi (biji sawi)
32. Meunta batèë (buih batu, tumbuh pada batu di sungai)
33. Puco’ (pucuk Aplataxis auriculta)
34. Böh raseutom (kuncup mawar Jericho)
35. Peuja tuleuéng (barax)
36. Peuja bu (barax berbentuk kristal)
37. Seuna maki (daun senua)
38. Böh meusui (Sassafrass geosianum)
39. Böh ganti (akar harum dari Cina)
40. Janggôt jén (jamur Uesna barbata)

41. Ruminya/rumia (mumia atau gala-gala)
42. Kacu (Extacum acaciae)
43. Chamchuruih (Lepidium sativum)
44. Bungông kambuë
45. Kapho baroih (kapur barus)
46. Kapulaga (cardamom)
47. Böh pala (buah pala)
48. Kömköma (kunyit atau Curcuma)
49. Tòwaja
50. Bijeh apiun (candu atau biji opium)

51. Bungông bareüh (bunga mangustan liar atau Garcinia mangostana)
52. Ceukö (kencur atau.Kaempferia galangal)
53. Kulét salasari (kulit Alyxia stellate)
54. Muglé (Zingiber cassumunar Roxb)
55. Jeureungèë (Acorus calamus)
56. Aneuék kadawông (biji Parkia speciosa)

Semua bahan ini diracik sesuai kebutuhan, jenis penyakit, dan dosis yang tepat.

Hingga kini, sebagian tabib tradisional dan penjual obat keliling di Aceh masih mempraktikkan penggunaan ramuan ini. Meskipun beberapa bahan sudah langka, upaya pelestarian terus dilakukan agar warisan pengobatan leluhur ini tidak punah dimakan zaman.

Bagi masyarakat yang ingin mencoba resep obat warisan Aceh ini, sangat dianjurkan untuk mempelajari terlebih dahulu dosis dan campurannya. Sebab, tiap penyakit memerlukan jenis ramuan dan takaran yang berbeda agar aman dan berkhasiat secara maksimal. (*)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp