Dalam hal ini, katanya, telah dibentuk Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) yang mengambil alih tugas-tugas pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian kontrak kerjasama di darat dan laut wilayah kewenangan Aceh.

Gubernur Aceh itu berharap, kehadiran BPMA dapat memberikan manfaat yang maksimal untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat.

Nova merincikan, saat ini terdapat 3 Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang telah berproduksi dan 3 KKKS masih tahap ekplorasi serta 2 KKKS dalam proses joint study 12 wilayah Kerja Aceh.

“Ada pula satu 1 KKKS Produksi, yakni PT. Pertamina EP Asset 1 Rantau Field yang dalam proses pengalihan dari SKK Migas ke BPMA,” jelasnya.

Gubernur mengatakan, dari semua WK itu, produksi potensi migas lepas pantai di wilayah Laut Andaman Selat Malaka adalah yang terbesar.

“Kalau saja semua WK itu sudah pada tahap produksi, Insya Allah Aceh akan mampu berkontribusi bagi pencapaian produksi Migas Nasional yang menargetkan Produksi tahun 2030 sebesar 1 juta barel per hari untuk minyak bumi dan 12 miliar standard cubic feet per hari untuk gas,” terang Nova.

Namun, ditegaskannya, kontribusi Aceh bagi Migas nasional ini tidak akan terlaksana, jika tidak ada kerjasama yang baik dari kalangan stakeholder Migas nasional.

“Artinya, kami di Aceh mengakui bahwa dukungan Pemerintah Pusat, SKK Migas dan pemangku kepentingan lainnya sangat besar dalam mengoptimalkan potensi Migas Aceh. Sehingga membawa dampak positif pada perekonomian Aceh, terutama untuk pengembangan Industri pada Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe dan sekitarnya,” ujar Nova.