Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung nomor B-113/F/Fd.1/05/2010. Surat tertanggal 18 Mei 2010 itu terbit ketika posisi jaksa agung diduduki Basrief Arief.

Surat yang ditujukan kepada seluruh kejaksaan tinggi di Indonesia itu berisi imbauan agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice.

Saat itu pernyataan Basrief tentang surat edaran tersebut yaitu kalau uang yang dikorupsi sekitar Rp 10 juta, lebih baik dikembalikan kepada negara dan perkaranya dihentikan.

Apabila kasus ditindaklanjuti, mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga proses persidangan akan menghabiskan uang negara lebih dari Rp 50 juta.

Menanggapi hal tersebut, Jaksa Agung HM Prasetyo–pada masa ia menjabat–sempat menjawab terkait surat edaran itu. Apakah surat itu masih berlaku?

“Itu sangat tidak bisa digeneralisir. Setiap kasus beda-beda, ada mens rea-nya. Itu pun masih restorative justice, belum menjadi undang-undang,” kata Jaksa Agung Prasetyo ketika berbincang, Jum’at (26/2/2016).

Selain itu, Prasetyo menyebut surat edaran itu masih bersifat kasuistis saja, belum mengikat. Tentang surat edaran itu sendiri sempat menjadi polemik lantaran dianggap tidak mengandung semangat pemberantasan korupsi. (*)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp