Miris, Bencana Aceh–Sumatera Telan Lebih 1.000 Korban Jiwa, Status Masih Bencana Daerah - Laman 2 dari 3

Miris, Bencana Aceh–Sumatera Telan Lebih 1.000 Korban Jiwa, Status Masih Bencana Daerah

Laporan: Redaksi | Editor: Salman
Seorang bocah berjalan meniti kayu-kayu yang memenuhi area Pondok Pesantren Darul Mukhlishin pascabanjir bandang di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (5/12/2025). (ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso)

Menurut Rifqi, rujukan penilaian dapat dibandingkan dengan penetapan status pada bencana tsunami Aceh dan lumpur Lapindo.

Penetapan status bencana nasional, kata Rifqi, penting agar penanganan korban dapat dilakukan lebih cepat dan menyeluruh. Dengan status tersebut, pemerintah pusat dapat mengambil alih koordinasi secara lebih masif. Apalagi, bencana ini berdampak lintas wilayah dan melibatkan tiga provinsi.

“Dalam hal ini, rujukan kita untuk menakar kelayakan status bencana nasional adalah dasar dan takaran penetapan status pada musibah lumpur lapindo dan tsunami Aceh,” tuturnya.

Pandangan serupa juga disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), Prof Suhaidi. Ia menilai dampak bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sudah memenuhi kriteria bencana nasional sesuai UU Nomor 24 Tahun 2007.

“Untuk kriterianya sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (2). Pertama, jumlah korban. Kedua, kerugian harta benda. Ketiga, kerusakan prasarana dan sarana. Keempat, cakupan luas wilayah yang terkena bencana. Dan yang kelima, dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya,” ujarnya, dikutip dari Hukumonline, Sabtu (13/12).

Secara pribadi, Suhaidi menilai pemerintah daerah bersama BNPB sudah dapat mengusulkan peningkatan status bencana kepada pemerintah pusat. Besarnya jumlah korban, kerusakan parah, serta banyaknya wilayah yang terputus total menjadi dasar kuat pengajuan tersebut.

Dia menilai kapasitas pemerintah daerah sudah tidak memadai untuk menangani bencana sebesar ini.

“Karena memang tidak sanggup Provinsi, Kabupaten/Kota ini untuk menanggulangi. Tiga provinsi, coba bayangkan kerusakannya, kerugiannya juga, jumlah korban, belum lagi korban yang hilang,” katanya.

“Dampak yang ditimbulkan sampai hari ini masih terjadi, daerah-daerah terisolir. Walau ada pernyataan pemerintah tidak ada lagi, tapi apa namanya kalau memang dari jalan darat tidak bisa dilalui? Apakah bukan terisolir namanya itu?” sambung Prof Suhaidi.

Terkait pemenuhan hak korban, Suhaidi menegaskan negara harus hadir secara aktif. Ia menilai tanggung jawab tidak boleh dibebankan kepada masyarakat yang sedang berada dalam kondisi darurat.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup